Pertanyaan:
Saya mau tanya, apakah anak–anak yang sudah tidak punya orang tua berhak mewarisi harta kakek dan neneknya jika kakek dan neneknya meninggal dunia kelak? Sedangkan saudara-saudara dari kakak orangtua mereka, paman dan atau bibi mereka, juga masih hidup. Syukron jiddan, jazaakumullaahu khoiron katsiiran.
Jawaban:
Allah subhaanahu wa ta`aala telah menjelaskan permasalahan mawaris (pembagian warisan) dengan sangat lengkap dalam al-Qur’an dan dilengkapi secara sempurna melalui sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu `alaihi wa sallam. Sudah sepantasnya seorang muslim untuk menggunakan sistem pembagian warisan menurut standar syariat yang sudah dibakukan oleh para ulama dalam ilmu mawaris.
Setiap ahli waris sudah memiliki bagian dan hitungan sesuai keadaannya. Anak-anak yang tidak punya orang tua adalah cucu sang kakek atau nenek, dan saudara-saudara atau kakak dari orang tua mereka adalah anak-anak sang kakek atau nenek tersebut. Dari sini kita lihat yang meninggal adalah kakek atau nenek, maka kita jadikan sebagai standar menilai pertanyaan saudara.
Anak-anak yang tidak punya orang tua tersebut adalah anak-anak yang orang tua mereka telah meninggal sebelum sang nenek atau kakek meninggal, dinamakan cucu dari sang mayit (dalam istilah ilmu mawaris ibnu ibn atau ibnu bintu). Ibnu bintu (anak dari anak perempuan) tidak termasuk ahli waris dari sang kakek atau nenek tersebut. Sedangkan ibnu ibn (cucu lelaki dari anak lelaki) termasuk ahli waris yang mendapatkan sisa harta waris (al-ashaabah). Ia sama dengan anak-anak lelaki dari kakek tersebut mewarisi dengan cara at-ta`shib bin-nafsi.
Dalam pertanyaan saudara jelas bahwa kakak dari orang tua anak-anak tersebut yang perempuan (bibi) adalah anak perempuan (bintun) sang kakek atau nenek tersebut, sehingga termasuk yang mendapatkan hak warisan tergantung dari adanya ahli waris yang lain. Apabila tidak ada lagi ahli waris lain selain yang saudara sebutkan maka anak perempuan kakek tersebut mendapatkan warisan dengan cara at-ta`shib bil ghair. Keduanya mendapatkan masing-masing satu bagian dan anak lelaki mendapatkan dua bagian. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah subhaanahu wa ta`aala:
يُوصِيكُمُ ٱللهُ فِىٓ أَوْلَـٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. an-Nisaa`: 11)
Dari keterangan di atas, anak-anak lelaki dari orang tua yang telah meninggal sebelum sang kakek adalah cucu lelaki dari anak lelaki saja yang masuk sebagai ashabah bersama anak sang kakek. Dengan demikian berkumpul dalam keadaan ini dua orang ashabah binnafsi, sehingga diberlakukanlah kaedah yang disampaikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
(ألحِقوا الفرائضَ بأهلِها فما بَقِيَ فلأَولَى رجلٍ ذكرٍ)
“Bagikan hak waris kepada ahlinya, sisa harta yang telah terbagi milik lelaki yang paling dekat.” (HR. al-Bukhori)
Sehingga bila berkumpul dua lelaki yang menjadi ahli waris (ashabah) atau lebih maka didahulukan yang paling dekat kekerabatannya secara sisi kekerabatan. Apabila sama maka yang terdekat derajat kekerabatannya.
Dalam hal ini anak dan cucu sama-sama satu sisi kekerabatannya yaitu bunuwwah (anak). Maka kita lihat derajat dan kedudukannya, didapatkan yang langsung lebih kuat daripada yang tidak langsung. Anak lebih kuat dari cucu, karena anak memiliki hubungan secara langsung sedangkan cucu harus ada anak lelaki dari mayyit dahulu sehingga kekerabatannya tidak langsung. Dengan demikian maka anak kakek tersebut yaitu paman-paman dari anak-anak yang ditinggal wafat orang tuanya, sebelum kakek tersebut wafat, menghalangi para cucu tersebut mendapatkan harta warisan.
Imam al-Bukhori dalam shahihnya menyatakan: “Bab yang menjelaskan warisan ibnu ibn (cucu lelaki dari anak lelaki) apabila tidak ada anak lelaki. Zaid berkata: ‘cucu dari anak lelaki sama kedudukannya dengan anak lelaki apabila tidak ada bersama mereka anak lelaki…..dan tidaklah cucu dari anak lelaki mewarisi bersama anak lelaki sang mayyit.’”
Kesimpulannya anak-anak yang ditinggal mati orang tuanya sebelum sang kakek meninggal tidak mendapatkan bagian warisan karena terhalangi keberadaan paman-paman mereka yang menjadi anak lelaki sang kakek. Semoga penjelasan ini dapat dipahami dan dimaklumi.
Wabillahittaufiq.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
***
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/39046-warisan-untuk-cucu-yatim-piatu.html